Rabu, 26 Maret 2008

Flu Burung dan Budaya Berternak di Lampung

Ahsanal Huda

Master Trainer TPFB Muhammadiyah Lampung

Pada Agustus 2003, pertama kali dijumpai kasus penyakit flu burung (avian influenza--AI) pada unggas di Indonesia. Kemudian virus ini berkembang secara cepat sehingga Departemen Pertanian mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 96/Kpts/PD. 620/2/2004 tanggal 4 Februari 2004 yang menetapkan bahwa penyakit flu burung (FB) pada unggas telah mewabah di delapan provinsi, termasuk Lampung, masuk sebagai zona merah.

Sedangkan untuk kasus penyakit FB pertama sekali dijumpai menular ke manusia terjadi pada 15 Juli 2005, menewaskan Iwan dengan dua putrinya. Korban FB pada manusia terus berjatuhan sehingga Menteri Kesehatan mengeluarkan Surat Keputusan pada 19 September 2005 Nomor 1372/Menkes/ SK/IX/2005, yang memutuskan penyakit FB di Indonesia dinyatakan sebagai KLB (kejadian luar biasa) secara nasional. Sedangkan FB pada unggas, statusnya adalah wabah bahkan menjadi pandemi. Tercatat sekitar 115 orang yang telah meninggal terkena virus FB.

Sayangnya, wabah FB ini dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi tidak pernah diberikan pengobatan, yang dikerjakan hanya pencegahan. Untuk pencegahan malahan hanya diadakan tindakan eutanasia dan stamping out. Hal inilah yang mendasari penulis, sebagai koordinator dan relawan Tim Penanggulangan Flu Burung (TPFB) dari Muhammadiyah yang bekerja sama USAID dan CIBAIC untuk Lampung menghadapi problematis dan paradoksnya gerakan.

Di satu sisi menyadarkan relawan untuk setiap desa di dua kabupaten (Lampung Selatan dan Lampung Timur) dengan pembekalan amunisi (pamflet, spanduk, kaus, baju PPE, dll.) yang diberikan untuk setiap relawan. Pada sisi yang lain, kehadiran relawan desa itu sering hanya menjadi corong pengeras suara untuk makin menakut-nakuti masyarakat akan bahaya penyakit FB tanpa solusi pengobatan setelah terjangkit positif FB (selain hanya pemusnahan massal). Bahkan untuk vonis positif AI pun, masih harus diperpanjang dengan runtutan birokratis yang berliku. Semua ini membuat kepanikan, terganggunya ketentraman, dan terutama tersendatnya prosesi intisari dari penyadaran kepada masyarakat akan bahayanya penyakit FB itu sendiri.

Bahkan, menurut pengamatan di lapangan sejak 2006, penulis yang sudah bergelut sebagai relawan tim TPFB menunjukkan fakta adanya problem kultural di tengah lingkungan masyarakat kita. Selain apatis terhadap kebersihan, masuk di dalamnya budaya menjual ayam yang sakit, mengonsumsi, dan yang lebih berbahaya ada temuan yang menunjukkan, ada warga yang membuang unggasnya yang mati mendadak ke sungai. Belum lagi ditambah enggannya warga melapor karena ada pemahaman jika melapor peternak akan merugi karena pasti ternaknya akan dimusnahkan.

Penanggulangan Penyakit FB

Provinsi Lampung mendapatkan pujian sebagai daerah yang cepat tanggap oleh Dr. Erna Tresnaningsih, Sp.O.K., Direktur Pengendalian Penyakit Bersumber Binatang, Departemen Kesehatan dibanding dengan daerah- daerah lain (Kompas, 21-12-2007). Tetapi fakta ini tidak berbanding lurus dengan masih maraknya penjualan ayam yang sakit di pasar-pasar tradisional.

Penanggulangan penyakit FB untuk unggas (hewan), sebagaimana disebut dalam Piagam Kerja Sama 9 Agustus 1972, tentang penanggulangan penyakit yang dikategorikan zoonosis atau penyakit FB adalah kewenangan medis veteriner melalui Departemen Pertanian. Dengan status penyakit FB adalah wabah, menggunakan aspek legal atau payung hukum UU No. 6 Tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Penyakit FB di Lampung sudah pada periode persiapan pandemi dan pada fase ketiga atau penularan dari unggas ke manusia. Sampai kini memang belum ada fakta yang menunjukkan virus AI ini dapat menularan antarmanusia. Walaupun begitu karena identitas penyakit ini adalah virus H5N1 yang sudah bermutasi, sangat layak bagi kita untuk tetap waspada, minimal dengan tindakan perventif. Tidak meliarkan ternak unggas, memberikan disinfektan, memberikan vaksin, dan menjaga kebersihan kandang.

Intinya melestarikan kultur berternak secara sehat. Dan sebagaimana yang diteriakkan setiap relawan TPFB ketika pelatihan, jangan menyentuh unggas yang sakit secara langsung, jangan mengonsumsi daging unggas yang sakit, jangan membuang unggas yang mati sembarangan, jangan sungkan untuk melapor, dan jangan berternak kalau tidak mampu mengandangkan.

Kenapa ini penting? Karena para ilmuwan dunia sudah memprediksi, virus FB ini jika sudah sampai tahapan menyebar antar manusia. Dunia dicekam bencana terhebat mengalahkan Perang Dunia I dan II. Sebab, vaksin yang ada untuk membuatnya perlu waktu selama enam bulan, sedangkan penularan virus ini hanya hitungan jam. Perhitungan mekanis dan matematis, sudah dibuat WHO. Jika sampai virus ini tidak terkendali, kemusnahan populasi manusia tinggal menunggu waktu.

Kini virus FB di Indonesia sudah menelan korban 115 orang, masih belum diidentifikasi media penularannya. Langkah yang dilakukan hanyalah proses mengendalikan virus H5N1 ini melalui kandang dan disinfektan. Dalam film Race Against The Killer Flu tebitan National Geographic, 2005 sangat gamblang dijelaskan cepatnya masa inkubasi, menjelajahi dunia hanya hitungan hari, yang diprediksi para ilmuwan dunia, kemusnahan masal jika virus H5N1 menyerang manusia, tidak mungkin dapat dibendung lagi.

Problem Kultural Berternak Unggas

Di Lampung, kebanyakan ternak unggas bukan menjadi usaha yang serius. Melainkan sekadar sampingan. Hasilnya pun ya sekadar sampingan sehingga unggas yang tidak dikandangkan menjadi fenomena yang biasa di lingkungan kita. Bahkan, kalaupun dikandangkan, biasanya menyatu dengan dapur.

Termasuk tradisi masyarakat, umumnya yang tinggal di perdesaan di Lampung, makan daging ayam justru ketika ayam itu sakit. Sebab, ada rasa sayang ketika menyembelih ayam yang sehat.

Persoalan kultur berternak dengan tidak mengandangkan, yang sudah menjadi tradisi dan dilakukan turun-temurun hingga muncul pemeo, jika ayam diliarkan justru cepat besar. Ini makin membuat rumitnya pemberantasan FB. Maka sangat diperlukan kerja-kerja tim penanggulangan yang bersifat advokatif, memberdayakan, sekaligus juga menyadarkan.

Dalam strategi penanggulangan FB haruslah memenuhi prasyarat pertama, dengan community awareness (kesadaran masyarakat). Membangkitkan kesadaran masyarakat, yang berarti melawan kultur berternak di tengah masyarakat itu. Terutama memberikan informasi yang benar terkait virus FB.

Kedua, community based surveillance atau dapat juga disebut penelusuran berbasis partisipasi dari masyarakat. Ketiga, meningkatkan biosecurity. Salah satu program terkait dengan biosecurity adalah mengandangkan unggas sesuai dengan standar berternak atau sekadar memelihara secara sehat. Dan yang keempat, meningkatkan proteksi hewan, tidak mencampur antara unggas yang baru dibeli dengan unggas yang sudah dipelihara misalnya.

Dengan itu semua, diharapkan FB dapat kita kendalikan secara tepat dan benar. Tidak artifisial, seremonial, dan apalagi sekedar beramai mendapatkan liputan media

Tidak ada komentar: