Rabu, 26 Maret 2008

KESADARAN KRITIS-TRANSFORMATIF DALAM AKTUALISASI GERAKAN PELAJAR

Oleh : Ahsanal Huda, S.P*)

PARADIGMA PENDIDIKAN

Pemetaan aliran pendidikan menurut Giroux and Aronowitz (1985) yang mengkatagorikan pendekatan pendidikan menjadi tiga aliran yakni pendekatan konservative, liberal dan kritis

q Paradigma Konservatif

Bagi kaum konservatif, ketidak kesederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah suatu yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara saja. Dalam bentuknya yang klasik atau awal peradigma konservatif dibangun berdasarkan keyakinan bahwa masyarakat pada dasarnya tidak bisa merencanakan perubahan atau mempengarhui perubahan sosial, hanya Tuhan lah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua. Dengan pandangan seperti itu, kaum konservatif lama tidak menganggap rakyat memiliki kekuatan atau kekuasaan untuk merubah kondisi mereka. Paradigma koservatif cenderung lebih menyalahkan subyeknya, mereka yang menderita, yakni orang orang miskin, buta huruf, kaum tertindas dan mereka yang dipenjara, menjadi demikian karena salah mereka sendiri. Karena toh banyak orang lain yang ternyata bisa bekerja keras dan berhasil meraih sesuatu. Banyak orang kesekolah dan belajar untuk berperilaku baik dan oleh karenanya tidak dipenjara. Kaum miskin haruslah sabar dan belajar untuk menunggu sampai giliran mereka datang, karena pada akhirnya kelak semua orang akan mencapai kebebasan dan kebahagiaan. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi.

q Paradigma Liberal

Kaum Liberal, berangkat dari keyakinan bahwa memang ada masalah di masyarakat tetapi bagi mereka pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Dengan keyakinan seperti itu tugas pendidikan juga tidak ada sangkut pautya dengan persoalan politik dan ekonomi. Sungguhpun demikian, kaum liberal selalu berusaha untuk menyesuaikan pendidikan dengan keadaan ekonomi dan politik di luar dunia pendidikan, dengan jalan memecahkan berbagai masalah yang ada dalam pendidikan dengan usaha reformasi ‘kosmetik’. Umumnya yang dilakukan adalah seperti: perlunya membangun kelas dan fasilitas baru, memoderenkan peralatan sekolah dengan pengadaan komputer yang lebih canggih dan laboratorium, serta berbagai usaha untuk menyehatkan rasio murid-guru. Selain itu juga berbagai investasi untuk meningkatkan metodologi pengajaran dan pelatihan yang lebih effisien dan partisipatif, seperti kelompok dinamik (group dynamics) ‘learning by doing’, ‘experimental learning’, ataupun bahkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) sebagainya. Usaha peninkatan tersebut terisolasi dengan system dan struktur ketidak adilan kelas dan gender, dominasi budaya dan represi politik yang ada dalam masyarakat.

Kaum Liberal dan Konservatif sama sama berpendirian bahwa pendidikan adalah a-politik, dan “excellence” haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum Liberal beranggapan bahwa masalah mayarakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Mereka tidak melihat kaitan pendidikan dalam struktur kelas dan dominasi politik dan budaya serta diskriminasi gender dimasyarakat luas. Bahkan pendidikan bagi salah satu aliran liberal yakni ‘structural functionalisme’ justu dimaksud sebagai sarana untuk menstabilkan norma dan nilai masyarakat. Pendidikan justru dimaskudkan sebagai media untuk mensosialisasikan dan mereproduksi nilai nilai tata susila keyakinan dan nilai nilai dasar agar masyarakat luas berfungsi secara baik.

___________________

*) Disampaikan Pada Pelatihan Kader Taruna Melati Tiga di Kota Metro 17-24 Maret 2008

*) Sekertaris Umum PW PM Lampung Periode 2006-2010

Mantan Ketua Umum PW IRM Lampung Periode 2002-2004

Akar dari pendidikan ini adalah Liberalisme, yakni suatu pandangan yang menekankan pengembangan kemampuan, melindungi hak, dan kebebasan (freedoms), serta mengidentifikasi problem dan upaya perubahan sosial secara inskrimental demi menjaga stabilitas jangka panjang. Konsep pendidikan dalam tradisi liberal berakar pada cita cita Barat tentang individualisme. Ide politik liberalisme sejarahnya berkait erat dengan bangkitnya kelas menengah yang diuntungkan oleh kapitalisme. Pengaruh liberalisme dalam pendidikan dapat dianalisa dengan melihat komponen komponennya. Komponen pertama, adalah komponen pengaruh filsafat Barat tentang model manusia universal yakni model manusia Amerika dan Europa. Model tipe ideal mereka adalah manusia “rationalis liberal”, seperti: pertama bahwa semua manusia memiliki potensi sama dalam intelektual, kedua baik tatanan alam maupun norma sosial dapat ditangkap oleh akal. Ketiga adalah “individualis” yakni adanya angapan bahwa manusia adalah atomistik dan otonom (Bay,1988). Menempatkan individu secara atomistic, membawa pada keyakinan bahwa hubungan sosial sebagai kebetulan, dan masyarakat dianggap tidak stabil karena interest anggotanya yang tidak stabil.

Positivisme juga berpengaruh dalam pendidikan liberal. Positivisme sebagai suatu paradigma ilmu sosial yang dominan sewasa ini juga menjadi dasar bagi model pendidikan Liberal. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode dan teknik ilmu alam memahami realitas. Positivisme sebagai suatu aliran filsafat berakar pada tradisi ilmu ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme and generalisasi, melalui metode determinasi, ‘fixed law’ atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan tungal dianggap ‘appropriate’ untuk semua fenomena. Oleh karena itu mereka percaya bahwa riset sosial ataupun pendidikan dan pelatihan harus didekati dengan metode ilmiah yakni obyektif dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifisir dan diverifikasi dengan metode “scientific”. Dengan kata lain, positivisme mensaratkan pemisahan fakta dan values dalam rangka menuju pada pemahaman obyektif atas realitas sosial.

Paradigma Kritis/Radikal.

Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk perubahan moderat, maka paradigma kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Bagi mereka kelas dan diskriminasi gender dalam mayarakat tercermin pula dalam dunia pendidikan. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terelpas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyarakat. Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap ‘the dominant ideology’ kearah transformasi sosial. Tugas utaama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistim dan sruktur ketidak adilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistim sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat (detachment) seperti anjuran positivisme. Visi pendidikan adalah melakukan kritik terhadap sistim dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan yang tertindas untuk mencipta sistim sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi soaial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan’ kembali manusia yang mengalami dehumanisasi karena sistim dan struktur yang tidak adil.

q Implikasi paradigma pendidikan.

Freire (1970) membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran idologi masyarakat. Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah ‘proses memanusiakan manusia kembali”. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistim kehidupan sosial, politik, ekonom, dan budaya, membuat masyarakat mengalami proses ‘demumanisasi’. Pendidikan, sebagai bagian dari sistim masyarakat justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness) dan kesadaran kritis (critical consciousness).

Pertama kesadaran magis, yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja masyarakat miskin yang tidak mampu melihat kaitan kemiskinan mereka dengan sistim politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor diluar manusia (natural maupun supra natural) sebagai penyebab dan ketakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam prepektif Freirean di sebut sebagai pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistim dan struktur terhadap satu permalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.

Kedua kesadaran naif. Keadaan yang di katagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat ‘aspek manusia’ menjadi akar penyebab masalah masarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika, kreativitas, ‘need for achevement’ dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya ‘membangunan’ dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’ adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan. Pendidikan dalam kontek ini juga tidak mempertanyakan systim dan struktur, bahkan systim dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar murid bisa masuk beradaptasi dengan sistim yang sudah benar tersebut.

Ketiga kesadaran Kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistim dan struktur sebagai sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari ‘blaming the victims” dan lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistim sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidak adilan’ dalam sistim dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistim dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesematan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.

q Implikasi paradigma pendidikan pada pedekatan pendidikan: Pedagogy v.s. Andragogy.

Pedagogi, menempatkan obyek pendidikannya sebagai ‘anak anak’, meskipun usia biologis mereka sudah termasuk ‘dewasa’. Konsekewensi logis dari pendekatan ini adalah menempatkan peserta didik sebagai “murid” yang pasif. Murid sepenuhnya menjadi obyek sutu proses belajar seperti misalnya: guru mengguri, murid digurui, guru memilihkan apa yang harus dipelajari, murid tunduk pada pilihan terseut, guru mengevaluasi, murid dievaluasi dan seterusnya. Kegiatan belajar mengajar model ini menempatkan guru sebagai inti terpenting sementara murid menjadi bagian pinggiran.

Sebaliknya, andragogy atau pendekatan pendidikan ‘orang dewasa’, menempatkan peserta belajar sebagai orang dewasa dan ‘murid’ sebagai subyek dari sistim pendidikan. Murid sebagai orang dewasa diasumsikan memiliki kemampuan aktif untuk merencanakan arah, memilih bahan dan materi yang dianggap bermanfaat, memikirkan cara terbaik untuk belajar, menganalisis dan menyimpulkan serta mampu mengambil manfaat pendidikan. Fungsi guru adalah sebagai “fasilitator”, dan bukan mengguri. Oleh karena itu relasi antara guru-murid bersifat ‘multicommunication’ dan seterusnya.

Kesadaran Kritis-Transformatif Dalam Aktualisasi Gerakan Pelajar/IRM

Cita-cita besar IRM adalah terbentuknya remaja muslim yang berakhlak mulia dan berintelektual, sehingga terwujud masyarakat utama adil makmur yang diridai Allah swt. Suatu cita-cita yang teramat mulia bagi sebuah "organisasi remaja" dan tentu membutuhkan strategi-strategi yang dinamis untuk mencapainya.Tiga agenda IRM dalam kaitannya dengan upaya mengukuhkan tradisi “kritis-transformatif” tersebut :



1. Transendensi (Tu’minuna Billah)
Kata kerja transcend, yang darinya kata transendental diambil, berasal dari bahasa latin transcendere yang artinya memanjat di/ke atas. Dari lima arti dalam Webster’s New International Dictionary yang dekat dengan keperluan kita ialah transendental dengan makna “abstrak, metafisis” dan “melampaui”.

Transendensi seperti dalam tradisi Nabi Ibrahim merupakan kunci bagi penyelamatan manusia modern. Teknologi, ilmu dan manajemen memang membawa kemajuan tetapi gagal membawa kebahagiaan. Kekerasan adalah akibat kemajuan teknologi perang, kekuasaan pasar adalah buah dari penguasaan ilmu, kesenjangan adalah hasil ketimpangan manajemen. Semuanya tanpa iman. Transendental dalam arti spiritual akan membantu kemanusiaan menyelesaikan masalah-masalah modern.

Disinilah pentingnya kesadaran nilai-nilai ilahiah (ma’ruf, munkar dan iman). Nilai-nilai inilah yang menjadi tumpuan aktivisme IRM. Rujukan normatifnya bisa ditemukan dalam surat Al-Baqarah (2) : 110 “Kuntum khaira ummah ukhrijat linnasi ta’muruna bil ma’ruf wa tanhauna’anil mungkar wa tu’minuna billahi.” (kamu adalah ummat terbaik yang dilahirkan untuk menusia, menyeruh kepada ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah). Ada empat hal yang tersirat dalam makna ayat tersebut, yaitu (1) konsepsi tentang umat terbaik, (2) aktivisme sejarah, (3) pentingnya kesadaran dan (4) etika profetik. Dalam pandangan Kuntowijoyo agar ummat Islam menjadi ummat terbaik ada tiga hal yang harus dilakukan : Pertama, ta’muruna bilma’ruf, Kedua, tanhauna anil mungkar, dan Ketiga, tu’minuna billah.

Tujuan transendensi adalah menambahkan dimensi transendental dalam kebudayaan. Kita sudah banyak menyerah kepada arus hedonisme, materialisme dan budaya yang dekadan. Kita percaya bahwa sesuatu harus dilakukan, yaitu membersihkan diri dengan mengingatkan dimensi transendental yang menjadi bagian sah dari fitrah kemanusiaan. Kita ingin merasakan kembali dunia ini sebagai rahmat Tuhan. Kita ingin hidup kembali dalam suasana yang lepas dari ruang dan waktu, ketika kita bersentuhan dengan kebesaran Tuhan.

2. Humanisasi (Ta’muruna Bil Ma’ruf)
Ketika diturungkan dalam konteks zamannya, Islam pada dasarnya merupakan gerakan spiritual, moral, budaya, politik serta sistem ekonomi alternatif. Tentu saja ‘alternatif ‘ dalam sistem dan budaya Arab klasik yang waktu itu tengah mengalami pembusukan dan proses dehumanisasi. Islam (di)lahir(kan) sebagai agama rakyat (suatu komunitas yang sering tertindas-mustad’afin), bukan agama penguasa. Ia harus bergerak dan digerakkan demi, oleh dan untuk rakyat mayoritas. Ia menjadi agama humanis yang menentang agama struktur otoritarian.

Di alam modern saat ini dehumanisasi terjadi dalam multi bentuk. Penyebabnya antara lain karena dipakainya teknologi (baik berupa alat-alat fisik maupun metode) dalam masyarakat. Jacques Ellul (1964) dalam Kuntowijoyo (2004) menulis sebuah buku The Technological Society untuk menjelaskan betapa jauh teknologi itu dalam kehidupan. Teknologi kemudian menjadi dewa dan pusat sesuatu. Perilaku-perilaku kekerasan yang bernuansa etnik dan agama serta kriminalitas menjadi potret proses dehumanisasi bangsa saat ini. Tidak heran kemudian kemunculan postmodernisme sebagai perlawanan atas modernisme yang menampilkan diri dengan model yang kebeblasan.

Dalam kondisi demikian Al-Qur’an mengatakan bahwa pada awalnya manusia itu hanif (sebaik-baik mungkin). Akan tetapi karena proses sejarah lalu kemudian manusia mengalami apa yang disebut dengan “tsumma radadnaa hu asfala safilin” (kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya). Dalam ayat tersebut dikecualikan ; (1) “illalillazina aamanu” (orang-orang yang beriman), (2)
“wa amilussalihati” (mengerjakan amal shaleh). Aktifitas kemanusiaan yang tidak etik itulah yang menyebabkan manusia terjungkal kedalam lembah kehinaan (dehumanisasi) sehingga kehilangan kemanusiaannya. Untuk itu usaha mengangkat kembali martabat kemanusiaan manusia (emansipasi) atau humanizing sangat diperlukan. Tujuannya adalah memenusiakan manusia.

Pada titik ini apresiasi yang harus IRM berikan kepada realitas masanya adalah bagaimana IRM kemudian menciptakan kebudayaan dengan membangun kultur kebajikan, keindahan hati, interaksi sosial yang menjamin rasa aman, kemanusiaan (humanis) dan perdamaian (peace) sebagai maenstrem utamanya. Ayat-ayat pendidikan (QS. Al-Alaq (96) : 1-5 ), kesehatan (QS As-Syuara (26) : 80) dan perlakuan terhadap anak yatim piatu (QS. Al-Ma;un (107) : 1-7) merupakan ayat-ayat kemanusiaan yang menjadi kajian kritis generasi awal Muhammadiyah. Dalam tanfidz Muktamar XIII di Yogyakarta mengenai Khittah Perjuangan IRM dengan jelas disebutkan bagaimana bahwa prinsip pemanusiaan itu memiliki dua akar potensi yang terdapat dalam diri manusia. Pertama, kebudayaan dan kedua, peradaban.

Makna kebudayaan adalah kemampuan diri yang dicapai dengan pertumbuhan, sedangkan makna peradaban adalah kekuasaan atas alam dengan menggunakan ilmu pengetahuan, teknologi, kota dan negara. Sebab peradaban merupakan kelanjutan atas kemajuan teknis, yaitu kelanjutan dari unsur-unsur alam yang menunjukkan kekuatan potensial yang sebenarnya sudah ada pada leluhur kita dimasa lampau. Peradaban memberi pendidikan sedangkan kebudayaan memberi pencerahan. Yang satu dituntut melalui proses belajar dan yang satu dituntut melalui proses perenungan, refleksi, kontemplasi dan meditasi.

Untuk itu sebagai bagian dari Muhammadiyah, maka yang harus dilakukan IRM adalah kultur saling menyantuni, ‘saling menyayangi’ dan memiliki sense of social yang tinggi. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila lahir pemikiran, pandangan dan pemaknaan yang mendalam terhadap teks Al-Qur’an berkenaan dengan cita-cita sosial Islam. Disinilah IRM diharapkan menggeser paradigmanya mengenai kesalehan dari kesalehan individual kepada kesalehan sosial. Dari struktural ke kultural. Dari mitos kelogos dan dari simbol kesubstansi.



3. Liberasi (Tanhauna Anil Mungkar)
Ajaran mengenai tanhauna anil mungkar adalah merupakan focus teologicus Islam. Dan inilah yang oleh Ali Syari’ati disebut dapat membedakan antara nabi Islam dengan nabi diluar Islam. Hassan Hanafi (2001) menggambarkan bahwa jika Ibrahim merupakan cermin revolusi akal menundukkan tradisi-tradisi buta, revolusi tauhid melawan berhala-berhala; Nabi Musa merefleksikan revolusi pembebasan melawan otoritarianisme dan Nabi Isa adalah contoh revolusi ruh atas dominasi materialisme; maka Nabi Muhammad Saw merupakan tauladan kaum papa, hamba sahaya dan komunitas tertindas berhadapan dengan konglomerat, elit Quraisy dan gembong-gembongnya dalam perjuangan menegakkan masyarakat yang bebas, penuh kasih sayang, persaudaraan dan egaliter.

Ajaran fundamental Islam sebagai kerangka epistemologi pemihakan Islam terhadap kaum lemah adalah tauhid. Dalam islam konsep tauhid merupakan konsep sentral yang berisi ajaran bahwa Tuhan adalah pusat dari segala sesuatu, dan bahwa manusia harus mengabdikan diri sepenuhnya kepada-Nya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi doktrinal lebih jauh bahwa tujuan kehidupan tak lain kecuali menyembah kepada Tuhan.
Oleh karena itu ide tauhid ini sejak awal telah menjadi dasar fundamental dalam menciptakan tata sosial yang etis (berlandaskan moral), egalitarian dan berkeadilan, khususnya dalam mengeliminir praktek keagamaan politheisme (penyembahan berhala), eksploitasi kaum miskin, permainan kotor dalam perdagangan serta ketidakadaan tanggungjawab sosial. Dengan demikian, seperti dikemukakan Asghor Engineer, doktrin tauhid tidak hanya mempunyai konsekuensi religius, tetapi juga mempunyai implikasi sosio-ekonomi. Ali Syariati menyebutkan bahwa tauhid dalam Islam merupakan suatu pandangan dunia, yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ia menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme, dan aristokrasi.

Dalam pengertian ini tauhid, faham tauhid selalu terkait dengan prinsip kemanusiaan, rasa keadilan sosial dan ekonomi yang harus diwujudkan dalam kehidupan kongkrit bermasyarakat. Dalam bahasa filsafat parennial, bahwa komitmen imani sebagai respon terhadap sapaan kasih Tuhan yang berpusat dari pemahaman dan keyakinan Ketuhanan Yang Esa (Tauhid), harus selalu melangkah dan bergerak pada tahapan praksis untuk melayani manusia sebagai sesama hamba Tuhan. Dengan ungkapan lain, tauhid atau perjalanan iman yang bermula dari pengetahuan dan keyakinan terhadap Tuhan selalu dan harus bergerak kemuara kehidupan kongkrit berupa amal kebajikan.

Rangkaian tauhid adalah paham tertentu tentang hakikat dan martabat manusia. Bertauhid (mengimani ke-Maha Esa-an Tuhan) adalah jalan hidup yang dapat mempertahankan ketinggian martabat manusia karena semangat tauhid itu dengan sendirinya atau seharusnya membawa implikasi pada ; Pertama, pencerahan. IRM sebagai organisasi atau pergerakan diarahkan dan dibentuk dalam kerangka tauhid sebagai upaya penyadaran terhadap nilai eksistensi manusia, menjadi pengingat dan pembangkit motivasi insaniah, serta mengasah dan mencerahkan naluri gaib cinta kasih yang tersembunyi pada manusia (QS Al-Alaq : 1-5).
Kedua, pembebasan. Syahadah (Asyadu’allah Ilaha Illallah Wa Asyhadu Anna Muhammadan Rasulullah) dalam kerangka berfikir muslim merupakan pernyataan yang bermula dengan menafikan lalu dititik puncaknya adalah penisbahan (laa ilaa ha illallah). Pemaknaan terhadap syahadah tersebut mewujud dalam gerakan membebaskan manusia lewat Tuhan. Ketika terbakar oleh api ilahi, kita kembali dan memasuki putaran waktu dan mewarnai jalannya sejarah, mengubah suatu dunia baru yang membebaskan (QS At-Taubah: 129).

Ketiga, kesemestaan/universality. Sebagai gerakan sosial religius merupakan keniscayaan untuk selalu berada dan bergerak dalam komunitas masyarakatnya. Komunitas masyarakat dalam pandangan dunia tauhid adalah merupakan locus kepedulian, keprihatinan dan pengabdian kepada Tuhan. Dengan demikian kesemestaan bermakna bahwa Ikatan Remaja Muhammadiyah bergerak dalam setting sosial yang unipolar dan menolak dikotomi orientasi pemanusiaan (QS : An-Nisa ; 1)


Karena itu anak-anak IRM perlu menumbuhkan sikap beragama yang kritis-transformatif menjadikan landasan tauhid sebagai spirit pergerakan dan menyuarakan perlawanan terhadap segala bentuk tirani dan seabrak ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan kemungkaran sebagai pemaknaan kreatif terhadap fungsi kehadiran manusia sebagai khalifah. Tujuan liberasi (tanhauna anil mungkar) adalah pembebasan dari kekejaman kemiskinan struktural, eksploitasi, keangkuhan teknologi, pemerasan kelimpahan dan ketidakadilan distribusi.

Dari Kesadaran Kritis Menuju Aksi Transformatif

Pada dasarnya, dualitas kritis-transformatif tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Suatu perilaku kritis harus diakhiri dengan aksi/tindakan transformatif. Sebaliknya aksi transformatif tidak bisa diwujudkan tanpa melalui pemahaman kritis terhadap realitas. Jelasnya, perilaku kritis merefleksikan bentuk praksis dan transformatif menggambarkan bentuk riil aksi yang dilakukan.

Untuk itu, langkah yang harus ditempuh adalah: pertama, menentukan prioritas isu/kasus/program. Yakni hasil dari analisis kritis terhadap realitas sosial. Namun tidak berarti proses analisis terhadap realitas sudah selesai. Analisis terus dilakukan, hanya pada tahap ini, saatnya aksi/tindakan perubahan dilakukan. Kedua, pilihan pemihakan. Berdasarkan hasil analisis kritis, didapatkan skema pelaku-pelaku (stakeholder) yang terlibat dan pola relasinya dari suatu kasus dari realitas. Pada tahap ini, ditetapkan posisi pelaku perubahan dan pemihakan terhadap suatu kelompok yang dirugikan (tertindas). Ketiga, Membentuk lingkar inti (allies): yakni kumpulan orang dan/atau organisasi yang menjadi penggagas, pemrakarsa, penggerak dan pengendali utama sekaligus penentu kebijakan, tema/isu, strategi, dan sasaran dari suatu aksi/tindakan untuk perubahan. Lingkar inti juga disebut sebagai kelompok basis aksi. Keempat, merancang sasaran dan strategi. Kelima, menggalang sekutu dan pendukung. Lingkar inti hanyalah sebagai penggerak utama suatu aksi transformatif. Namun, sesungguhnya aksi ini dijalankan sejumlah orang yang tergabung kelompok-kelompok aksi. Hematnya, aksi transformatif dilakukan 3 (tiga) kelompok aksi, yaitu: kelompok basis (lingkar inti), kelompok pendukung, dan kelompok sekutu (sebagai garis-depan).Keenam, membentuk pendapat umum: yakni suatu bentuk kampanye dan propaganda tentang suatu isu/aksi kepada khalayak ramai. Harapannya isu dan aksi tersebut diketahui dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Kampanye dan propaganda ini dapat dilakukan di media baik cetak maupun elektronik (bekerja sama dengan media massa), pelatihan, selebaran, demonstrasi, dan sebagainya. Ketujuh, pemantauan serta evaluasi program aksi. Tahapan terakhir ini penting untuk dilakukan agar bisa mengukur sejauh mana tingkat keberhasilan dari program yang telah dilakukan. Dengan memperhatikan sasaran hasil indikator keberhasilan dan pengujiannya.

Penutup


Kritis-transformatif adalah aktualnya tata nilai ketuhanan (Rabbaniyah), yang menjiwai terhadap seluruh aktivitas kemanusiaan yang berdasarkan kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan akan menuju Tuhan (Q.S. Al-Baqarah (2):156), Inna lillahi wa inna ilahi raaji’un (sesungguhnya kita berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya), maka Allah adalah asal dan tujuan hidup tempat kembali segala sesuatu/mahluk.
Muhammad Iqbal dalam Kuntowijoyo (2004) ketika memberikan komentarnya mengenai mi’raj Nabi Muhammad bahwa katanya “seandainya Nabi adalah seorang mistikus atau sufi, tentu Nabi tidak akan kembali lagi kebumi, karena telah merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada disisi-Nya”. Tetapi lanjut Iqbal “Nabi kembali kebumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah”.

IRM sebagai organisasi pelajar dan remaja seharusnya menjadi agen perubahan social (agent of change) dan menjadi pengawal perubahan. .......Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.... (Surat Ar Ra’d ayat 11)

Tidak ada komentar: